Bahasa Melayu digunakan di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Dalam bukunya, Collins (2005:8) menulis bahwa teks tertua dalam bahasa Melayu selesai ditulis di atas sebuah batu di Sumatera bertanggal 682. Hal ini menunjukkan bahwa besar kemungkinan bahasa Melayu telah digunakan di Nusantara jauh sebelum masa itu. Menurut van Wijk (1985:XVIII) bahasa Melayu juga telah tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara dan digunakan orang asing untuk berkomunikasi dengan penduduk asli.
Untuk melihat perkembangan bahasa Melayu, kita memerlukan periodisasi perkembangan bahasa Melayu di Nusantara. Kridalaksana menggunakan pendekatan sejarah—yaitu menggunakan bukti-bukti tertulis—untuk membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam beberapa periode. Kridalaksana (1991:5) membagi periodisasi sejarah bahasa Melayu atas: 1) bahasa Melayu Kuna yang meliputi kurun abad ke-7 sampai abad ke-14; 2) bahasa Melayu Tengahan yang mencakup bahasa Melayu Klasik dalam kurun waktu abad ke-14 sampai abad ke-18; 3) bahasa Melayu Peralihan yang mencakup kurun abad ke-19; 4) bahasa Melayu Baru yang dipergunakan sejak awal abad ke-20.
Pengetahuan mengenai awal bahasa Melayu dapat diperoleh dari batu bersurat atau bahan lain yang tersebar di Jawa Tengah, Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Bangka, dan Sumatra Selatan. Adapun, bahasa Melayu Tengahan dapat diketahui dari surat-surat, naskah perjanjian, dan karya-karya sastra klasik (Kridalaksana, 1991:6—7). Akan tetapi, Kridalaksana tidak menyebutkan di mana dapat didapatkan bahan tertulis bahasa Melayu Peralihan dan bahasa Melayu Baru.
Selain Kridalaksana, Teeuw (dalam Kridalaksana, 1991:135—136) juga membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam enam tahap. Berbeda dengan Kridalaksana yang menggunakan pendekatan sejarah, Teeuw membagi periodisasi bahasa Melayu dengan pendekatan linguistik historis komparatif, yaitu dimulai dari masa prasejarah hingga bahasa Indonesia yang digunakan pada saat ini. Teeuw juga menjelaskan bahwa dalam perkembangannya, bahasa Melayu memiliki masa-masa genting yang memperlihatkan perkembangan bahasa Melayu karena faktor politik dan kebudayaan tertentu.
Tahap pertama perkembangan bahasa Melayu adalah bahasa Proto Austronesian, bahasa Proto Austronesia, atau Austronesia Purba. Bahasa ini diperkirakan mulai tersebar oleh nenek moyang bangsa Melayu ribuan tahun yang lalu di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya, kelompok penutur Austronesia makin tersebar luas. Menurut pandangan beberapa ahli, dapat diandaikan ada sebuah kelompok orang Austronesia yang mulai menetap di gugusan Indonesia Barat dan Semenanjung Melayu. Tahap berikutnya adalah Proto Malayic atau Melayu Purba. Bahasa Melayu Purbalah yang kemudian menurunkan sejumlah bahasa dan dialek, termasuk di dalamnya bahasa Melayu yang dikenal sekarang.
Tahap selanjutnya adalah Old Malay atau Melayu Kuna. Bahasa Old Malay tersimpan dalam sejumlah prasasti dari Indonesia Barat dan Tanah Melayu dan telah mendapat pengaruh dari bahasa Sansekerta. Tahap keempat ditandai dengan tampilnya bahasa Melayu sebagai bahasa tulisan yang tersimpan dalam sejumlah naskah yang jumlahnya terbatas. Tahap ini disebut tahap bahasa Melayu Klasik. Bahasa Melayu Klasik menunjukkan keanekaragaman yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh pengaruh bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Melayu. Pengaruh yang paling penting berasal dari bahasa Arab dan bahasa Parsi. Selain bahasa Arab dan Parsi, bahasa-bahasa Eropa juga mulai masuk ke dalam bahasa Melayu. Salah satu yang pengaruhnya paling besar adalah bahasa Portugis. Hal ini disebabkan karena bangsa Portugis telah lebih dulu masuk ke Nusantara sebelum bangsa-bangsa Eropa lainnya, yaitu pada awal abad ke-17.
Tahap selanjutnya adalah tahap bahasa Melayu Modern. Tahap ini dimulai pada abad ke-19, yaitu saat orang-orang Eropa masuk ke Nusantara dan melakukan kegiatan perdagangan di Asia Tenggara. Bukan hanya berdagang, bangsa Eropa juga memantabkan diri sebagai penjajah politik; Inggris mulai menguasai tanah Melayu dan Belanda bertahap mulai memperluas penguasaan politiknya di kepulauan Indonesia. Hal ini sangat berpengaruh pada bahasa Melayu, yang saat itu telah digunakan sebagai bahasa pengantar antara penduduk lokal dan orang asing.
Tahap terakhir adalah proses kebangkitan bangsa Melayu dan bangsa Indonesia yang pada akhirnya menjadi dua bangsa yang memilih bahasa Melayu sebagai bahasa nasionalnya, masing-masing dengan dua nama: bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia. Di samping itu, Singapura dan Brunei juga menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mereka. Teeuw menyebut tahap ini sebagai tahap bahasa Indonesia, bahasa Malaysia, bahasa Melayu Brunei, dan Singapura.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam pembagian periodisasi dan perkembangan bahasa Melayu yang dilakukan oleh Kridalaksana dan Teeuw. Kridalaksana membagi periode perkembangan bahasa Melayu sejak zaman sejarah, yaitu sejak adanya bukti-bukti tertulis dalam bahasa Melayu. Walapun demikian, Kridalaksana tetap berpendapat bahwa terdapat masa prasejarah bahasa Melayu, hanya saja sulit dibuktikan karena tidak terdapat bukti tertulis (Kridalaksana, 1991:4). Adapun, Teeuw membagi perkembangan bahasa Melayu dimulai dari zaman prasejarah. Pendapat ini didasarkan pada teori bahwa bahasa Melayu telah digunakan di kawasan Asia Tenggara sejak lama (dalam Kridalaksana, 1991:135).
***
Referensi:
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kridalaksana, Harimurti. 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Kanisius
Van Wijk, D. Gerth. 1985. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Penerbit Djambatan