Bulan
Oktober seakan menjadi bulan spesial bagi bangsa Indonesia. Mungkin
tidak banyak yang tahu kalau bulan Oktober adalah hari di mana bangsa
Indonesia secara de jure mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan.
Tentunya
kita tidak lupa dengan sepotong kalimat ini, “Kami putra-putri
Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Kalimat itu
merupakan sepenggal dari tiga poin yang terdapat dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928. Singkat, namun merupakan suatu tonggak baru, bahwa
bangsa Indonesia sudah mempunya “tali” yang menyatukan ratusan
suku bangsa dengan ratusan bahasa itu: bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian bahasa Melayu dan telah
digunakan di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu. Dalam bukunya,
Collins (2005:8) menulis bahwa teks tertua dalam bahasa Melayu
selesai ditulis di atas sebuah batu di Sumatera bertanggal 682. Hal
ini juga menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah digunakan di Nusantara
jauh sebelum masa itu.
Ramainya pedagang asing yang datang dari China, Portugis, Spayol,
Belanda, Inggris, dan lain-lain, memaksa mereka harus mencari bahasa
pengantar untuk bisa berkomunikasi satu sama lain. Karena itu, mereka
menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang mereka gunakan ini
merupakan cabang bahasa lisan yang dengan sendirinya terus berubah
dan berkembang berdasarkan perubahan-perubahan historisnya. Bahasa
Melayu lisan inilah yang kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu Pasar
atau bahasa Melayu Rendah. Adapun bahasa Melayu tulis hanya dikenal
di lingkungan pengguna bahasa Melayu itu sendiri, dan lazim disebut
sebagai bahasa Melayu Riau atau bahasa Melayu Tinggi (Sumardjo,
2004:253).
Untuk melihat perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia,
diperlukan periodisasi perkembangan bahasa Melayu. Kridalaksana
menggunakan pendekatan sejarah, yaitu bukti-bukti tertulis untuk
membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam beberapa periode.
Kridalaksana (1991:5) membagi periodisasi sejarah bahasa Melayu atas:
1) bahasa Melayu Kuna yang meliputi kurun abad ke-7 sampai abad
ke-14; 2) bahasa Melayu Tengahan yang mencakup bahasa Melayu Klasik
dalam kurun waktu abad ke-14 sampai abad ke-18; 3) bahasa Melayu
Peralihan yang mencakup kurun abad ke-19; 4) bahasa Melayu Baru yang
dipergunakan sejak awal abad ke-20.
Meluasnya
pengaruh dan penggunaan bahasa
Melayu di Nusantara pada akhirnya mendorong tumbuhnya rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pemuda-pemudi Indonesia secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia. Tak hanya itu, bahasa Indonesia juga dijadikan
bahasa persatuan yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 oktober 1928 yang
mengiikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang
semuanya dengan nama Indonesia. Isi Sumpah Pemuda adalah sebagai
berikut:
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
- Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Demikian, bahasa Indonesia
tidak hanya digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi juga sebagai
bahasa resmi, bahasa pemerintahan, dan bahasa pengantar pendidikan.
Tak hanya itu, bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa
pergaulan, di mana bahasa Indonesia bersifat terbuka. Artinya, bahasa
Indonesia bisa dan sanggup menerima pengaruh dari bahasa lain, antara
lain Arab, Belanda, Portugis, Inggris, bahkan Yunani. Contohnya:
musyawarah dan doa (Arab); internet dan telepon (Inggris), kulkas
(Belanda), Minggu (Portugis).
Namun sayang, penghargaan akan bahasa Indonesia kini semakin pudar.
Masyarakat Indonesia—khususnya generasi muda—mulai mengagungkan
bahasa asing. Tak hanya itu, dengan banyaknya sekolah berlabel
"internasional", bahasa Indonesia kini bukanlah bahasa
pengantar pendidikan lagi. Bahasa Inggris kini menjadi raja dengan
iming-iming bahasa pergaulan global bagi para pelajar. Menguasai
bahasa asing memang baik, tapi alangkah baiknya bila bahasa Indonesia
tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri sehingga penghargaan atas
bahasa Indonesia tetap terjaga. Salam bahasa!