Senin, 20 Februari 2012

Love at The 1st Sight (?)

Suatu hari, seorang teman bertanya pada saya: "Lo percaya sama love at the first sight nggak?"
Tanpa berpikir panjang, aku menyanggah pendapat itu. "Tidak," kataku mantap, nyaris tanpa penyesalan.

Kemudian, kawan saya ini bercerita bahwa ada pria yang ingin berkenalan pada saya, karena (dalihnya, sumpah ini dalihnya!) ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada saya. Kawan saya dan temannya hanya selintas bertemu saya ketika sedang menunggu busway di sebuah halte transit. Kawan saya dan temannya mengendarai motor dan meneriakkan nama saya dari kejauhan. Secepat angin, dan kawan saya mengatakan temannya telah jatuh cinta.

Tapi sungguh, saya tak mencela jawaban spontan saya pada dia barusan. Saya tak pernah habis pikir bagaimana seseorang bisa jatuh cinta (dalam kasus saya) hanya dalam hitungan detik. Bagi saya cinta adalah persahabatan. Ungkapan ini saya kutip dari film india fenomenal dan monumental, Kuch Kuch Hota Hai. Saya bukanlah penggemar film India, namun bagi saya ungkapan itu seratus persen tepat. Secara singkat, si tokoh utama perempuan berkata: jangan berharap bisa berpacaran dengan saya bila ia tak bisa menjadi sahabat saya.

Hingga detik ini, saya meyakini cinta adalah perasaan yang tumbuh dari pengenalan karakter yang memiliki ketertarikan. Karakter itu tak selalu positif. Kadang kita bisa mengatakan bahwa si A menarik karena ambisinya terhadap suatu hal bahkan kita bisa memandangi wajah seseorang karena ada tahi lalat besar di hidungnya. Bebas. Semua berhak menentukan alasan menyukai orang lain, dan itu (pasti) butuh waktu.

Bagi saya, love at the first sight yang dikatakan kawan saya hanyalah cinta kulit, yang tipis, dangkal, mudah robek dan tak berisi. Cinta seperti itu hanya memandang fisik, keindahan ragawi yang seiring berjalannya tahun sirna. Namun rasanya, masyarakat kita sudah dibodohi oleh label pertelevsian yang kerap menampilkan cinta sejati dalam potret cinta dalam pandangan pertama. Agak menyesakkan, karena televisi merupakan salah satu pembentuk budaya masyarakat.

Bukannya saya menafikan atau meragukan perasaan orang, tapi bagi saya, akan terlihat sangat naif bila saya percaya dan menjadikan love at the first sight suatu kesahihan.

Rabu, 15 Februari 2012

Lintas Malam ala TransJakarta

-->
Malam menjelang, angin berembus menembus paru yang seakan rindu rumah. Beruntung, hari ini langit kelam tampak cerah, bulan jelas terlihat berkuasa malam itu. Namun bukan Jakarta namanya kalau bisa tenang dan berdiam sejenak. Pukul 21.00 memang telah berlalu, tapi halte busway Kramat Sentiong masih ramai. Beberapa orang berlari kecil demi mengejar kesempatan TransJakarta yang hampir tiba.
Berbeda dengan transportasi lain yang mulai sepi di hari selarut ini, TransJakarta masih ramai, meski tidak sepada pagi atau sore hari. Mengenai hal ini, seorang perempuan yang ditemui SH di dalam bus beralasan, “Lebih aman, ketimbang naik patas atau metromini.” Perempuan itu kemudian melanjutkan, “Rumah saya di daerah Ragunan, jadi naik TransJakarta dari Matraman dan transit di Dukuh Atas. Selain lebih murah, naik TransJakarta juga jauh lebih aman.”