Lupakan kisah
petualangan Harry Potter, Ron Weasley, dan Hermione Granger; lupakan
pula kisah pasangan romantis Bella Swan dan Edward Cullen. Sekarang
pentas Hollywood menawarkan sesuatu yang baru dan seru: The
Hunger Games. Trilogi mengenai para
remaja muda pemberani ini ditulis secara apik dan cantik oleh Suzanne
Collins.
Katniss
Everdeen, seorang remaja yang tinggal di sebuah dunia
pasca-apokaliptik di negara Panem, di mana negara-negara Amerika
Utara pernah ada. Negara ini memiliki 12 distrik, dengan Capitol sebagai pusat pemerintahannya yang sangat metropolis. Hunger Games adalah acara tahunan di
mana satu anak laki-laki dan seorang gadis berusia 12 sampai 18 dari
12 kabupaten dipilih dengan undian untuk bersaing dalam pertempuran
yang ditayangkan langsung di televisi. Mereka harus saling membunuh hingga hanya satu orang yang
tersisa: sang pemenang. Peraturan permainan ini sederhana: yang menang akan mendapat
kehidupan sekaligus kemudahan, kemewahan, sementara
yang kalah—tentu saja—mendapatkan kematian.
Katniss
Everdeen begitu heroik ketika rela menggantikan tempat adiknya yang
namanya disebutkan dalam undian untuk bertarung dalam permainan
Hunger Games. Di sisi lain, ketidakberuntungan menimpa Peeta Mellark.
Putra seorang pembuat roti ini terpilih sebagai perserta laki-laki
dari Distrik 12. Namun diam-diam, Peeta menyimpan rasa cinta pada Katniss
sejak lama. Ke-24 peserta ini dikumpulkan di kota dan dilatih dan
dipersiapkan dengan matang untuk bertarung. Dalam hal mengatur strategi, tak hanya kelihaian berperang yang diandalkan, tapi juga tampilan fisik serta pencitraan. Dalam hal ini, Katniss dan Peeta dibantu Haymitch, Cinna serta timnya. Selama masa itu, tak lupa
kehidupan mereka disorot dan diamati sebagai objek tontonan yang
menghibur.Mereka menikmatinya? Tentu saja tidak.
The
Hunger Games tidak
hanya menawarkan pertarungan dan persaingan sengit para peserta, tapi
juga kisah cinta segitiga ala remaja antara Peeta, Katniss, dan Gale.
Pada akhirnya Katniss harus memilih di antara keduanya. Nilai-nilai
kejujuran, pengorbanan, keberanian juga sangat lekat di kisah
ini—sesuatu yang menambah nilai Hunger
Games.
Suzanne
Collins juga memperlihatkan dengan jelas bagaimana tren reality
show yang
sedang melanda AS. Suzanne Collins mungkin juga sedikit menyindir
bahwa tidak semua reality show lucu
dan indah seperti yang tampak di muka. Dalam The
Hunger Games ditampilkan
sisi gelap dari reality show yang
bukan hanya berbahaya, tapi juga mematikan. Kita patut menunggu
seperti apa kelanjutan petualangan Katniss dan Peeta di buku
selanjutnya. Tentunya sebagai pembaca kita menunggu sesuatu yang
lebih menarik yang di luar apa yang kita bayangkan.
Buku ini bisa memberikan gambaran bagaimana para remaja dari distrik miskin tak diperlakukan layaknya manusia. Mereka dipilih secara acak, dibawa ke kota, dilayani, difasilitasi, diangkat dan dipuja, tapi kemudian mereka disuruh saling menghabisi bak binatang. Mereka tak punya pilihan, kecuali membunuh. Tak hanya itu, kematian seorang anak remaja bak sesuatu yang membahagiakan yang layak dapat tepuk tangan, sorakan bahagia penonton. Ironis.
The
Hunger Games menerima sejumlah
penghargaan dan gelar kehormatan, salah satunya dari Penerbit Weekly
untuk kategori Best Books of the Year (2008) dan Notable Children's
Book of 2008 dari The New York Times. Tak hanya itu, karya ini juga
mendapatkan Golden Duck Award (2009) untuk kategori buku fiksi
dewasa-muda, serta meraih Cybil Winner (2008) untuk kategori fantasi
dan science fiction. Pada 2011, The Hunger
Games meraih
penghargaan
the California Young Reader Medal. Pada edisi majalah
Scholastic's Parent and Child
(2012),
The Hunger Games tercatat
sebagai buku terbaik ke-33 untuk anak-anak, dengan penghargaan untuk
kategori Most Exciting Ending. Novel ini telah diadaptasi ke versi
layar lebar dengan judul yang sama dan menduduki box
office di
AS. (*)
