Fenomena gunung es: 10 persen terdapat di permukaan air dan 90 persen sisanya bersembunyi di bawahnya. Namun sayang, justru yang di bawah permukaan airlah yang membuat kapal Titanic karam. Analogi gunung es adalah gambaran menarik mengenai kepemimpinan kita.
Kapal termegah di zamannya itu sempat mendapat lima peringatan mengenai adanya keberadaan gunung es di depan mereka pada malam kapal itu karam, 14 April 1912. Pesan keenam masuk yang memperingatkan awak kapal kalau ada gunung es tak jauh dari mereka. Namun, sang operator malah menjawab, “Diam! Aku sedang sibuk.”
Tak lama, tiga puluh menit kemudian, Titanic menabrak gunung es, karam, dan menyebabkan ratusan penumpang serta awak tenggelam. Kapal pesiar megah yang konon disebut-sebut tidak dapat ditenggelamkan Tuhan itu pun kandas. Apa pelajaran yang bisa diambil? Awak Titanic hanya melihat apa yang ada di permukaan. Sang kapten rupanya lupa belajar bahwa apa yang ada di bawah air, yang tidak kelihatan, itulah yang sesungguhnya dapat menghancurkan.
Hal yang sama berlaku bagi kepemimpinan kita. Banyak pemimpin kita hari-hari ini hanya mengejar yang terlihat, tanpa memperhatikan yang tak terlihat: karakter. Keahlian seseorang mungkin bisa membawanya ke posisi puncak, tapi hanya karakterlah yang membuat kita bisa bertahan di sana.
Masih segar di ingatan bagaimana Akil Mochtar, sang Ketua MK yang merupakan pemimpin lembaga hukum tertinggi di negeri ini diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan pertengahan tahun lalu; atau Gubernur Provinsi Banten Ratu Atut Chosiyah yang diduga terlibat suap dan korupsi.
Selain itu, masih ada Rudi Rubiandini, seorang akademikus andal, yang menjabat kepala SKK Migas yang tertangkap sedang bertransaksi suap di rumahnya.
Mungkin awalnya mereka memulai karier dengan keahlian selangit dan mumpuni. Prestasi dan pengakuan diberikan masyarakat bahkan negara. Namun, apa yang menyebabkan mereka terjerumus? Karakter. Karakter yang lemah mungkin dimulai dengan kebohongan kecil dan menyontek saat ujian. Tindakan itu kemudian dilanjutkan dengan dosa yang lebih besar: penipuan, pelecehan seksual, pencurian, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.
Belajar dari Daniel
Daniel menjadi salah satu pribadi yang sukses dalam Alkitab karena integritasnya. Daniel adalah keturunan raja atau bangsawan, tapi negaranya dijajah sehingga ia dibuang ke negeri asing dan dijadikan budak di sana. Apakah kemudian Daniel meninggalkan imannya pada Allah? Apakah ia menjual imannya pada Raja Nebukadnezar demi memperoleh kehidupan yang nyaman? Tidak. Daniel memiliki tiga hal yang terpenting sebagai modal menjadi pemimpin: karakter, komitmen, dan kompetensi.
Daniel adalah orang yang berkarakter. Dalam Daniel 1:4 dikatakan bahwa Daniel adalah orang muda yang tidak ada suatu cela, berperawakan baik. Tentu saja seorang pemimpin memerlukan karakter baik seperti yang ada dalam diri Daniel. Pengetahuan, cakap, dan berhikmat adalah modal awal menjadi seorang pemimpin. Cakap, berpengetahuan, dan berhikmat. Karakter seperti inilah yang dibutuhkan Kerajaan Babel untuk bekerja di istananya. Namun, karakter baik tidaklah cukup. Beberapa pemimpin kita kini jatuh bukan hanya karena karakternya, tapi karena absennya komitmen.
Dalam banyak kisah, Daniel kerap menunjukkan komitmen imannya kepada Allah. Perkataan dan tindakan Daniel selalu satu. Daniel tahu betul komitmen sangat terkait erat dengan kesetiaan. Itu yang ia lakukan ketika berada di Babel.
Ketika ia diancam dibakar di atas perapian yang menyala-nyala karena tidak mau menyembah patung, ia tetap teguh pada imannya. Daniel percaya bahwa jika Allah berkehendak, Ia akan mampu membebaskannya dari perapian itu. Kejadian selanjutnya adalah Allah benar-benar meluputkan Daniel dari kematian tersebut. Komitmen dan kesetiaan yang dipegang teguh oleh Daniel berbuah mukjizat keselamatan dari Allah. Ketika Daniel sudah membuktikan karakter yang baik dan 100 persen komitmennya pada Allah, kompetensinya pun mulai diperhitungkan.
Daniel punya kompetensi dan kemampuan sehingga bisa terpilih. Selama bekerja di Istana Nebukadnezar, Daniel dikaruniai Allah kemampuan menafsirkan mimpi-mimpi. Kompetensi Daniel ini yang kemudian membawanya diangkat menjadi salah satu pejabat tinggi di Babel.
Sebuah Pilihan
Karakter bukanlah sebuah urapan atau berkat. Karakter adalah sebuah pilihan. Sekitar seratus tahun lalu seorang anak laki-laki tumbuh di daratan Eropa. Sebagai remaja, ia tidak pernah belajar soal karakter karena orang tuanya tidak pernah mengajarinya tentang hal yang benar dan salah. Saat ia mulai menciptakan gagasan dan idenya sendiri, ayahnya menghinanya, termasuk keinginannya untuk menjadi seorang pendeta dan seniman.
Pertengkaran orang tuanya pada suatu malam meyakinkan sang anak bahwa keduanya membencinya. Lambat laun ia kemudian membangun sebuah tembok besar dalam dirinya, dan tak membiarkan seorang pun masuk. Ia melarikan diri dan tumbuh dewasa. Kini, kita mengenalnya sebagai Adolf Hitler. Dunia tahu bahwa Hitler adalah seorang pemimpin besar, tapi ia gagal mempergunakan karakternya. Karisma dan bakatnya untuk memengaruhi orang lain sedemikian besar hingga menghancurkan dirinya sendiri. Daniel dan Hitler adalah dua contoh bagaimana manusia dapat memilih mempergunakan karakter.
Karakter dapat dikembangkan dengan memberikan respons positif sesuai firman Tuhan yang dilatih dengan kebiasaan (habit), lalu menjadi perilaku (behaviour), kemudian menjadi karakter. Semoga pemimpin Indonesia saat ini hingga mendatang tidak hanya pandai mempergunakan bakatnya, tapi cerdas memilih karakter baiknya.